RENCANA PENELITIAN
JUDUL PENELITIAN : FORMULASI
SEDIAAN SALEP EKSTRAK METANOL TUMBUHAN ECENG GONDOK (Elchhornia crassipes Solms) TERHADAP BAKTERI Stapylococcus aureus
NAMA MAHASISWA : INDRA NUGRAHA
NOMOR MAHASISWA : 10.201.238
DOSEN PEMBIMBING : Prof.
H. WAHYUDIN
BAB I
PENDAHULUAN
Hidup sehat menjadi idaman bagi setiap insan. Krisis ekonomi yang melanda
beberapa waktu lalu ternyata telah mengarahkan pilihan masyarakat dari
pengobatan secara medis yang biayanya relatif mahal ke pengobatan alternatif yang
lebih ekonomis. Masyarakat semakin jeli memilih produk yang aman, murah, mudah
didapat, dan bersifat natural atau sedikit mengandung bahan-bahan kimia
sintesis. (Sudewo Bambang, 2004).
1
|
Salah satu tanaman yang digunakan dalam pengobatan tradisional adalah eceng
gondok. Di Indonesia enceng gondok yang mengandung Saponin, flavonoida, polifenol, alkaloid, karbohidrat,
protein, fosfor, kalium, lemak. Unsur SiO2, calsium (Ca), magnesium (Mg), kalium
(K), natrium (Na), chlorida (Cl), cupper (Cu), mangan (Mn), ferum (Fe) dan
banyak lagi. Pada akarnya terdapat senyawa sulfate dan fosfat. Dengan seluruh
kandungan kimia yang ada itu, enceng gondok dapat digunakan sebagai obat
tenggorokan terasa panas, kencing tidak lancar, biduran dan bisul. Bahkan
bunganya yang menawan juga bagus dijadikan bahan obat tradisional.
Salep adalah sediaan setengah
padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obatnya larut
atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok (Anonim, 2008).
Staphylococcus aureus merupakan
bangian terbesar dari flora normal manusia dan termasuk salah satu dari
beberapa spesies yang bersifat patogen. Pada pewarnaan, termasuk dalam bakteri
gram positif. Staphylococcus aureus sangat penting diketahui karena
bakteri ini dapat menyebabkan infeksi pada kulit. Staphylococcus aureus berbentuk
koloni khas dengan warna ungu kemerahan. (Djide. N. 2003)
Berdasarkan hal tersebut di atas maka ekstrak
eceng gondok berpotensi di formulasi bentuk sediaan salep. Adapun masalah yang
timbul yaitu bagaimana memformulasikan suatu bentuk sediaan salep yang bahan
aktifnya berasal dari ekstrak eceng gondok dan pada konsentrasi berapa ekstrak
enceng gondok dapat menghambat pertumbuhan bakteri staphylococcus aureus.
Tujuan penelitian ini untuk merancang formula
sediaan salep dari ekstrak eceng gondok dan untuk mengetahui besarnya daya
hambat terhadap pertumbuhan bakteri staphylococcus aureus.
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan bagi industri obat atau obat tradisional dalam pembuatan salep
dengan menggunakan bahan alam.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Uraian
Tumbuhan
1. Klasifikasi
Eceng gondok
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas :
Monocotyledoneae
Suku :
Pontederiaceae
Marga :
Eichhornia
Jenis
: Eichornia crassipes Solms
2. Nama
Daerah
Palembang : Kelipuk
Lampung : Ringgak
Dayak
: Ilung-ilung
Manado : Tumpe
Makassar
: Eceng
gondok
3. Morfologi
Eceng gondok
4
|
4. Khasiat Kegunaan.
Khasiat eceng
gondok dapat digunakan sebagai obat tenggorokan terasa panas, kencing tidak
lancar, biduran dan bisul
5. Kandungan
Zat Kimia
Saponin,
flavonoida, polifenol, alkaloid, karbohidrat, protein, fosfor, kalium, lemak. Unsur SiO2,
calsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), natrium (Na), chlorida (Cl), cupper
(Cu), mangan (Mn), ferum (Fe) dan banyak lagi. Pada akarnya terdapat senyawa
sulfate dan fosfat.
Daunnya
kaya senyawa carotin dan bunganya mengandung delphinidin-3-diglucosida. Dengan
seluruh kandungan kimia yang ada itu, eceng gondok dapat menyembuhkan
tenggorokan terasa panas, kencing tidak lancar, biduran dan bisul. Kandungan
senyawa penting tadi terdapat diseluruh organ tanaman dari akar sampai daun dapat
dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional. Bahkan bunganya yang menawan juga
bagus dijadikan bahan obat tradisional.
B. Uraian
Salep
1.
Pengertian
Salep
Salep
adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat
luar. Bahan obatnya larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok
(Anonim, 2011).
Adapun
fungsi dari salep adalah:
a.
Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk
pengobatan kulit.
b.
Sebagai bahan pelumas kulit.
c.
Sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah
kontak permukaan kulit dengan larutan berair dan rangsang kulit (Anief, 2005).
2.
Dasar salep
Dasar salep yang digunakan
dalam penelitian ini ada dua, yaitu:
a.
Dasar salep hidrokarbon
Dasar
salep hidrokarbon (dasar bersifat lemak) bebas air, preparat yang berair
mungkin dapat dicampurkan hanya dalam jumlah sedikit saja, bila lebih berminyak
maka sukar bercampur. Dasar hidrokarbon dipakai terutama untuk efek emolien.
Dasar salep tersebut bertahan pada kulit untuk waktu yang lama dan tidak
memungkinkan hilangnya lembab ke udara dan sukar dicuci. Kerjanya sebagai bahan
penutup saja (Ansel, 2005).
b.
Dasar salep absorpsi
Dasar
salep absorpsi dibagi menjadi 2 tipe: (a) yang memungkinkan percampuran larutan
berair, hasil dari pembentukan emulsi air dan minyak, (b) yang sudah menjadi
emulsi air minyak (dasar emulsi), memungkinkan bercampurnya sedikit penambahan
jumlah larutan berair. Dasar salep ini berguna sebagai emolien walaupun tidak
menyediakan derajat penutupan seperti yang dihasilkan dasar salep berlemak.
Seperti dasar salep berlemak, dasar salep absorpsi tidak mudah dihilangkan dari
kulit oleh pencucian air (Ansel, 2005).
C. Uraian Bakteri
Nama bakteri itu berasal dan kata
“bakterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat atau batang. Sekarang nama itu
dipakai untuk menyebut sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berbiak
dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan
mikroskop.
Berdasarkan bentuk morfologinya, maka bakteri dapat
dibagi, atas tiga golongan, yaitu golongan basil, golongan kokus, dan golongan
spiral.Basil (dari bacillus) berbentuk serupa tongkat
pendek, silindris. Sebagian besar bakteri berupa basil. Basil dapat
bergandeng-gandengan panjang, bergandengan dua-dua atau terlepas satu sama
lain. Yang bergandenggan dengan panjang disebut streptobasil, yang dua-dua
disebut diplobasil, Ujung-ujung basil yang terlepas satu sama lain itu tumpul,
sedang ujung yang masih bergandengan itu tajam.
Kokus (dari
coccus) adalah bakteri yang bentuknya
serupa bola-bola kecil. Golongan ini tidak sebanyak golongan basil. Kokus ada,
yang bergandeng-gandengan panjang serupa tali leher disebut Streptokokus, ada yang bergandengan
dua-dua, disebut diplokokus, ada yang mengelompok berempat, disebut tetrakokus,
kokus yang mengelompok merupakan suatu untaian disebut stafilokokus, sedang
kokus yang mengelompok serupa kubus disebut sarsina.
Spiril
(dari spirillium) ialah bakteri yang bengkok atau berbengkok-bengkok serupa
spiral. Bakteri yang berbentuk spiral itu tidak banyak terdapat. Golongan ini
merupakan golongan yang paling kecil, jika dibanding dengan golongan kokus
maupun golongan basil.
Bentuk tubuh bakteri
terpengaruhi oleh keadaan medium dan oleh usia. Maka untuk membandingkan bentuk
serta besar kecilnya bakteri perlulah diperhatikan bahwa kondisi bakteri itu
harus sama, temperature dimana piaraan itu di simpan harus sama, penyinaran
oleh sumber cahaya apapun harus sama, dan usia piaraan pun harus sama. Pada
umumnya bakteri dan piaraan yang masih muda, yaitu sekitar 6 sampai 12 jam,
nampak lebih besar daripada bakteri yang berasal dan koloni yang lebih tua.
Bakteri dan koloni yang sudah tua sering menunjukkan kelainan-kelainan seperti,
sel-sel yang mempunyai cabang, sel-sel yang agak besar dan tak beraturan
bentuknya. Kecuali itu, Didalam piaraan yang agak tua selalu kedapatan sel-sel
yang sudah mati. Bakteri yang menunjukkan kelainan-kelainan akan memperoleh
bentuknya yang normal kembali, apabila dipiara dalam medium yang baru.
D. Uraian Kulit
Kulit secara garis
besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu :
1. Lapisan Epidermis/lapisan luar (kutikula)
2. Lapisan Dermis/kulit sebenarnya (korium,
kutis)
3. Lapisan hypodermis (subkutis)
Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan
subkutis, subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel
dan jaringan lemak. Epidermis relative
tipis, rata-rata 0,1 – 0,2 mm tebalnya, sedangkan dermis sekitar 2 mm. Dua
lapisan ini dipisahkan oleh suatu membrane basal.
Ad. 1 Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas : Stratum korneum,
stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basal yang
memberikan sel baru bagi lapisan sel lain. Sel baru ini menjadi sel duri
(stratum spinosum) dan nantinya menjadi keratin dalam stratum korneum terluar,
yakni lapisan tanduk. Lapisan ini secara berangsur-angsur dibuang. Proses ini
memerlukan waktu sekitar 4 minggu. Epidermis juga mengandung melanosit yang
menghasilkan pigmen, sel langerhans yang bertindak sebagai makrofag dan
limfosit.
Ad. 2 Lapisan Dermis
Lapisan ini merupakan lapisan dibawah epidermis
yang jauh lebih tebal dari pada epidermis. Lapisan ini terdiri atas elastis dan
fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Dermis terutama
terdiri atas kolagen dan elastin yang merupakan struktur penting untuk
menyokong kulit.
Ad. 3 Lapisan Hipodermis
1. Lapisan ini merupakan kelanjutan dari
dermis. Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di
dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar dengan inti terdesak ke
pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang
dipisahkan satu dengan yang lain oleh fibrosa (Fissher, A.A ; 1982).
E. Metode Ekstraksi bahan alam.
1.
Tujuan ekstraksi.
Ekstraksi
bertujuan untuk menarik komponen-komponen kimia yang terdapat dalam bahan alam.
Pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik sehingga
terjadi perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif didalam sel dan pelarut
organik diluar sel. Proses ini berulang terus sampai terjadi keadaan seimbang
antara konsentrasi cairan zat aktif didalam dan diluar sel.
2.
Ekstraksi secara maserasi.
Maserasi
adalah cara penyarian sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk
simplisia dalam cairan penyari. Selama beberapa hari (biasanya 5 hari) pada
temperatur kamar dan terlindungi dari cahaya. Maserasi digunakan untuk
penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan
penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari.
Cairan
penyari yang digunakan dapat berupa, air, ethanol, air-ethanol atau pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air
maka untuk mencegah untuk timbulnya kapang (jamur), dapat ditambahakan bahan
pengawet seperti alkohol 70% yang diberikan pada awal penyarian. Maserasi ini
sendiri mempunyai keuntungan dan kerugian. Adapun keuntungan maserasi adalah
cara pengerjaan dan alat yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan dan
kerugian cara pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Depkes,
1986).
F. Uraian Bakteri Uji Staphylococcus aureus (Bonang, 1982)
1. Klasifikasi
Kerajaan : Procaryotae
Divisi : Firmicutes
Kelas : Eubacteriaceae
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Micrococcaceae
Divisi : Firmicutes
Kelas : Eubacteriaceae
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Micrococcaceae
Marga :
Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus aureus
Jenis : Staphylococcus aureus
1.
Sifat dan
Morfologi
Staphylococcus aureus
merupakan bakteri gram positif, berbentuk bulat, bergaris tengah 0,5 - 1,5
mikrometer, terdapat bergerombol seperti buah anggur, berbentuk rantai pendek
atau berpasangan, tidak bergerak, tidak tahan asam, di atas pembenihan padat
berupa koloni bulat dengan diameter 1-2 mm, sedikit cembung, amorf, tidak
transparan. Biasanya terdapat di atas permukaan kulit, saluran pernapasan
bagian atas, saluran kencing, mulut dan hidung, jaringan kulit bagian dalam
dari bisul bernanah, infeksi luka, radang paru-paru dan selaput lendir lainnya, dapat tumbuh pada suhu 10 - 45°, suhu pertumbuhan
optimum 37°C, pada pH 7,0 - 7,5. Kuman ini dapat menginfeksi setiap jaringan
ataupun alat tubuh dan menyebabkan timbulnya penyakit dengan tanda-tanda yang
khas, yaitu peradangan, nekrosis dan pembentukan abses.
G. Pengujian secara mikrobiologi
(Djide, Globel, 1991)
Dikenal beberapa
pengujian secara biologis terhadap daya mikroba dan bahan-bahan kemoterapeutik
seperti antibakteri, antiseptik dan desinfektan. Umumnya pengujian
mikrobiologis dilakukan terhadap kebanyakan antimikroba. Tetapi cara pengujian
ini dapat dipakai untuk bahan-bahan lain yang mempunyai kemampuan menghambat
dan menumbuh pertumbuhan mikroorganisme. Cara pengujian aktivitas antimikroba
dalam hal ini adalah metode difusi.
Pada metode ini
kemampuan antibakteri atau mikroba ditentukan berdasarkan luasnya daerah
penghambatan yang tertentu. Metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa cara:
1. Cara difusi dengan plat silinder
Cara ini berdasarkan atas
perbandingan antara daerah hambatan yang dibentuk oleh larutan contoh terhadap
pertumbuhan dari mikroba dengan daerah hambatan yang terjadi oleh larutan
contoh dimaksukkan kedalamnya.
2. Cara difusi dengan plat mangkok
Prinsip ini sama
dengan plat silinder. Perbedaannya pada cara ini menggunakan alat berupa Cup
Plate yaitu lubang atau semacam mangkuk yang diletakkan diatas medium.
3. Cara difusi dengan kertas saring
Perbedaan dari kedua cara diatas
menggunakan kertas saring yang dibuat dengan bentuk dan ukuran tertentu,
berbentuk bulat dengan diameter 7-10 mm. Cara ini cepat dan praktis dan alat
yang digunakan sederhana. Pengamatan setelah masa inkubasi melihat daerah
hambatan yang terjadi.
4. Cara difusi
Kirby-bauer
Cara ini
menggunakan kertas saring dan cawan petri digunakan berukuran 150 x 15 mm
sehingga langsung dapat diuji dengan berbagai konsentrasi larutan contoh.
5. Cara difusi agar berlapis
Modifikasi cara Kirby-bauer
menggunakan dua lapis agar lapisan dasar (Based layer) dan lapisan atas (Seed
layer) mengandung mikroba.
H.
Uraian Bahan
1. Aqua destillata (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi : AQUA
DESTILLATA
Nama Lain : Air
suling, Aquadest
Rumus Molekul : H2O
Berat Molekul : 18,02
Pemeria : Air
suling merupakan cairan jernih; tidak
berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
K/P : Sebagai pelarut
2. Cera Alba (Ditjen
POM, 1979)
Nama Resmi : CERA
ALBA
Nama Lain : Malam
putih
Pemerian : Zat padat, lapisan tipis bening putih
kekuningan, bau khas lemah.
Kelarutan : praktis tiadak larut dalam air, agak
sukar larut dalam etanol (95%) P dingin larut dalam kloroform P, dalam eter
hangat, dalam minyak lemak dan minyak atrsiri.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
K/P : Zat tambahan
3. Cetaceum (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi : CETACEUM
Nama Lain : setaceum, spemaceti
Pemerian : Massa
hablur, bening, licin,putih mutiara, bau
dan rasa lemah.
Kelarutan : Praktis
tidak larut dalam air, dalam etanol (95%) P dingin, larut dalam 20 bagian
etanol (95%) mendidih, dalam kloroform P, dalam eter P dan karbondisulfida P,
daalam minyak lemak dan dalam minyak atsiri.
Penyimpanan : Dalam wadah tertut baik
K/P : Sebagai zat tambahan
4. Paraffin Liquid (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi : PARAFIN LIQUIDUM
Nama Lain : Parafin cair
Pemerian : Cairan
kental, transparan, tidak berflrosensi, tidak berwarna, hamper tidak berbau,
hamper tidak mempunyai rasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan etanol
(95%) P, larut dalam klorofrm dan dalam eter P.
K/P : Sebagai laksativum
5. Natrium Tetraborat (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi : NATRII TETRABORAS
Nama Lain : Natrium tetraboras,
boraks
Pemerian : Hablur transparan tidak berwarna, atau serbuk
hablur putih, tidak berbau, rasa asin, dan basa. Dalam udarah kering merapuh
Kelarutan :
Larut dalam 20 bagian air, dalam 0,6 bagian air mendidih dan dalam lebih kurang
satu bagian gliserol, praktis tidak larut dalam etanol.
K/P :
antiseptikum eksterm
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Jenis
penelitian ini dilakukan secara eksperimental, yang merupakan penelitian di
laboratorium dengan menggunakan rancangan eksperimental sederhana.
B.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian
ini akan dilaksanakan di Laboratorium Farmaseutika Fakultas Farmasi Universitas
Indonesia Timur Makassar dan di Laboratorium Mikrobiologi
Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Indonesia Timur pada bulan Oktober 2011 - Februari 2012.
C.
Alat dan Bahan
1. Alat yang digunakan
a. Autoklaf
b. Batang Pengaduk
c. Botol
pengencer 100 ml
d. Botol
semprot
e. Bunzen
f.Cawan petri
g. Erlenmeyer
h. Gelas
kimia 500 ml
i.
17
|
j. Gunting
k. Inkubator
l. Konduktivitas listrik
m. Masker
n. Mikroskop Okuler
o. Ose
bulat
p. Oven
q. Penangas
air /water bath
r. Pencadang
s. pH meter (Lutron pH 1,02)
t. Pinset
u. Pipet micro
v. Rak
tabung
w. Tabung
reaksi
x. Timbangan
analitik (Sartorius)
y. Viskometer (Brookfield)
2. Bahan :
a. Aluminium
foil
b. Aquadest
c. Cetaceum
d. Cera alba
e. Biakan
bakteri Staphylococcus aureus
f. Paraffin liquidum
g. Metanol
h. Natrii tetraboras
i. Larutan Garam Fisiologis NaCl 0,9 %
j. Medium Nutrient Agar
D.
Penyiapan Sampel
1. Pengambilan
sampel
Sampel
yang digunakan adalah tanaman eceng gondok yang diperoleh di kota Makassar.
2. Pengolahan
sampel
Sampel
penelitian berupa tanaman enceng gondok yang telah dikumpulkan, dibersihkan
kemudian dipotong kecil-kecil, lalu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan
pada tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung.
3. Pembuatan
ekstrak metanol enceng gondok dengan maserasi
Tanaman eceng gondok yang telah dipotong kecil-kecil
ditimbang sebanyak 500 gram, kemudian dimasukkan kedalam toples, kemudian dimasukkan
cairan penyari metanol, hingga simplisia tersebut terendam seluruhnya dengan
cairan penyari, toples ditutup. Kemudian disimpan selama 5 (lima) hari ditempat
yang terlindung dari cahaya, sambil diaduk berulang kali. Setelah itu diserkai
dengan kain flannel, dan dimasukkan kedalam botol (diulang 3x dengan perlakuan
yang sama), lalu disimpan ditempat terlindung dari cahaya. Ekstrak cair yang
diperoleh dipekatkan dengan menggunakan Rotary evaporator hingga diperoleh
ekstrak kental, selanjutnya diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental
E.
Rancangan Formula
Tabel I. Formula
Sediaan salep dengan menggunakan ekstrak
methanol tanaman eceng gondok
Bahan
|
Konsentrasi (%)
|
|||
F1
|
F2
|
F3
|
F4
|
|
Ekstrak eceng
gondok
|
kontrol
|
0,5
|
1
|
2
|
Cetaceum
|
6,26
|
6,26
|
6,26
|
6,26
|
Cera alba
|
6
|
6
|
6
|
6
|
Paraffin liqudum
|
28
|
28
|
28
|
28
|
Natrium tetraborat
|
250
|
250
|
250
|
250
|
Aquadest
|
9,5
|
9,5
|
9,5
|
9,5
|
F.
Pembuatan Sediaan Salep
1. Ditimbang semua bahan sesuai dengan perhitungan
masing-masing.
2. Fase minyak dibuat dengan meleburkan asam cetaceum, cera
alba, dan paraffin liquidum pada suhu 70oC di atas penangas sambil diaduk.
3. Fase air dibuat dengan cara melarutkan natrium
tetraboras dalam air pada suhu 70oC, kemudian ditambahkan lalu
diaduk hingga semua bahan larut.
4. Setelah keduanya
mencapai suhu yang sama (70oC), dituang fase minyak ke dalam
fase air. Kemudian diaduk dengan pengaduk elektrik selama 2 menit. Kemudian
didiamkan selama 20 detik lalu diaduk kembali sampai terbentuk basis salep yang
homogen.
5. Setelah itu dimasukkan ekstrak eceng gondok sedikit
demi sedikit dan diaduk sampai homogen.
6. Salep yang terbentuk kemudian diuji secara
mikrobiologi.
7. Dibuat formula II dan III seperti cara kerja formula
I. Perbedaannya
hanya pada
konsentrasi ekstrak eceng gondok yang akan digunakan.
G.
Evaluasi Organoleptis dan Homogenitas
1.
Evaluasi Hasil Sediaan.
Pengamatan
organoleptik meliputi bentuk, warna, bau dari sediaan salep (Anief, 1997).
2.
Uji Aktivitas Antimikroba
a. Penyiapan medium Medium Nutrient Agar
Komposisi:
Ekstrak daging sapi 3 g
Pepton 5 g
Agar 15
g
Air suling ad 1000 ml
Cara Pembuatan :
Semua bahan ditimbang, kemudian disuspensikan dengan air suling,
kemudian dipanaskan diatas waterbatch hingga semua bahan larut sempurna dan
diatur pH 7, kemudian dicukupkan volumenya hingga 1000 ml. Selanjutnya
disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit dengan
tekanan 1 atm.
b. Peremajaan bakteri uji
Bakteri uji staphylococcus
aureus yang berasal dari biakan murni di ambil satu ose dan diinokulasikan
dengan cara di goreskan secara zig zag pada medium NA miring kemudian
diinkubasi dalam incubator pada suhu 37° C selama 1 x 24 jam.
c. Pembuatan suspensi bakteri uji
Bakteri uji yang telah
diremajakan diambil sebanyak 1 ose lalu di suspensikan dengan 3 ml larutan
garam fisiologis NaCl 0,9 % steril lalu di homogenkan.
d. Pembuatan suspensi salep
Dibuat suspensi salep uji formula
kontrol dan formula konsentrasi 0,5%, 1% dan 2 % dengan cara ditimbang salep formula kontrol sebanyak 1,0 gram, dimasukkan
kedalam Erlemeyer, kemudian ditambahkan pelarut air steril secukupnya, diaduk
sampai homogen dan cukupkan volumenya hingga 10 ml, Cara yang sama dilakukan
dengan formula konsentrasi 0,5 %, 1% dan 2 %.
e. Pengujian aktivitas antimikroba
Pengujian aktivitas
antimikroba sampel terhadap pertumbuhan staphylococcus aureus dilakukan
dengan metode difusi agar berlapis. Disiapkan cawan petri sesuai dengan yang
dibutuhkan. Medium NA (Nutrient Agar) steril dituang ke dalam cawan petri
sebanyak 20 ml dan di biarkan memadat, lapisan ini disebut lapisan dasar (based
layed). Kemudian dibuat lapisan
kedua (seed layer) yang mengandung medium nutrient agar 5 ml dan suspensi
bakteri uji sebanyak 0,02 ml di dalam medium NA, dibiarkan hingga setengah
memadat. Setelah itu, pecandang diletakkan secara aseptik pada permukaan seed
layer tersebut dengan jarak pencadang 2 - 3 cm dari pinggir cawan petri.
Kemudian masing-masing larutan sampel konsentrasi 0,5 %, 1%, 2% dan larutan
kontrol dimasukkan kedalam pencandang sebanyak 0,2 ml, kemudian diinkubasi pada
suhu 37° C selama 1 x 24 jam. Diukur diameter zona hambat dari pertumbuhan
bakteri dengan menggunakan mistar geser, mencatat hasil pengamatan.
H.
Pengamatan dan Pengolahan Data
Pengamatan dan pengolahan data
dilakukan dengan mengamati setelah masa inkubasi 1 x 24 jam, diukur daerah
hambatan dengan menggunakan mistar geser lalu dianalisis menggunakan persamaan
regresi linier.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009, Ekstrak,
http// Medicafarma-blogspot.com,
Anonim, 2008, salep.
Dari Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia-http//id
Wikipedia-org/colki/salep
Ancel, H, C. 2005.
Pengntar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Universitas Indonesia
Press. Jakarta
Anief, Moh. 2005. Ilmu
Meracik Obat, Gadjah Mada, University Press, Yogyakarta
Bonang, C. Koeswardono,
E.S. 1982. Mikrobiologi Kedokteran, PT. Gramedia, Jakarta.
Djide, M.N. Globel,
R.B. 1991. Metode Instrumental Dalam
Mikrobiologi Umum, Fakultas MIPA UNHAS, Makassar.
Djide, N. 2003.
Mikrobiologi Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNHAS,
Makassar
Ditjen POM, 1995,
Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Ditjen POM, 1995.
Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Lund Wolter, 1994, The
Pharmaceutical Codex, 12 th Ed. Principle and Practice of Pharmaceutics, The
Pharmaceutial Press, London.
Pearce, Evelyn, C.
1999, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Redaksi Agromedia,
2008. Buku Pintar Tanaman Obat, PT.
Agromedia Pustaka. Jakarta
Sudewo
Bambang, 2004. Tanaman Obat Populer, Cetakan
Pertama, PT. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Kesimpulan
|
Pembahasan
|
Biakan Murni
Staphylococcus aureus
|
Pembuatan salep
Formula kontrol
Formula Sediaan
( ekstrak eceng gondok )
konsentrasi 0,5 %, 1 %, 2 %
|
Suspensi Bakteri Uji
|
Diinokulasi
1 ose kedalam medium NA
Diinkubasi
pada suhu 370C selama 1 x 24 jam
|
Biakan murni hasil peremajaan
|
- Di suspensikan dengan NaCl 0,9 % b/v
|
Medium nutrient agar (NA)
|
- Dibuat based layer dan dibiarkan memadat
- Dibuat seed layer
- Diletakkan pencadang
|
Pengujian daya hambat
|
- Di isi pencadang dengan suspensi sampel
- Di inkubasi pada suhu 370C selama 1x 24
jam
|
Pengamatan dan pengukuran zona hambatan
|
Pengumpulan dan pengolahan data
|
Formula sampel
Dilarutkan dengan
konsentrasi 0,5 %, 1 %, 2 %
|
Skema Kerja : Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Metanol
Tumbuhan Eceng Gondok (Eichhonarma
Crassipes Solms) Terhadap Bakteri Stapylococcus
Aureus